Dalam beberapa waktu terakhir, pembicaraan seputar branding kampus semakin mendapatkan perhatian. Di tengah derasnya arus kompetisi antar perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta, banyak institusi mulai menyadari bahwa mutu internal saja tidak selalu menjamin pengakuan eksternal. Lalu, muncul premis : “Akreditasi itu penting, tapi nggak cukup buat branding.”
Kalimat ini sepintas terdengar masuk akal—bahkan terlihat visioner. Namun, jika dicermati lebih dalam, terdapat kekeliruan logika yang perlu diluruskan. Pernyataan tersebut menyandingkan dua hal penting—akreditasi dan branding—dalam konteks yang seolah mempertentangkan, padahal sejatinya saling melengkapi. Di era transparansi dan keterbukaan informasi, kedua hal ini tidak dapat dipisahkan jika sebuah perguruan tinggi ingin menjadi institusi yang kredibel dan relevan.
Akreditasi Adalah Kendali Mutu, Bukan Sekadar Formalitas
Akreditasi bukanlah sekadar label administratif atau “kewajiban regulatif”. Ia merupakan mekanisme kendali mutu nasional yang dirancang untuk memastikan bahwa perguruan tinggi menjalankan fungsinya secara profesional, beretika, dan berdaya saing.
Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT) dan Lembaga Akreditasi Mandiri (LAM) secara rutin mengevaluasi berbagai aspek kelembagaan, mulai dari kurikulum, dosen, penelitian, hingga tata kelola institusi. Hal ini selaras dengan pendekatan kualitas berkelanjutan (continuous quality improvement) yang banyak diadopsi dalam sistem pendidikan global (Altbach, 2016).
Lebih dari itu, akreditasi kini mengedepankan kinerja riil dan keberlanjutan mutu. Prosesnya mencakup pelibatan stakeholder, pemetaan kompetensi lulusan, hingga kesiapan institusi dalam menjawab tantangan revolusi industri dan digitalisasi pendidikan. Sehingga, akreditasi bukan hanya “tiket legal” untuk beroperasi, tetapi juga tolok ukur awal bagi masyarakat untuk menaruh kepercayaan.
Namun, dalam dunia yang sarat informasi seperti saat ini, kepercayaan tidak cukup dibangun lewat dokumen. Ia juga harus dikomunikasikan secara strategis—dan disinilah peran branding masuk.
Branding Bukan Gimmick, Tapi Cerminan Janji
Branding bukan sekadar soal logo kampus, warna khas, atau slogan inspiratif. Branding kampus adalah cara institusi membangun persepsi publik, menyampaikan nilai-nilai, dan menjanjikan pengalaman yang membedakan dirinya dari kampus lain.
Menurut pakar strategi merek Marty Neumeier (2005), “A brand is not what you say it is. It’s what they say it is.” Dalam konteks kampus, ini berarti bahwa citra tidak semata dibentuk dari pernyataan institusi, melainkan dari kesan dan pengalaman mahasiswa, alumni, mitra kerja, dan masyarakat umum.
Dengan kata lain, branding kampus tidak bisa hidup di ruang kosong. Ia harus ditopang oleh kualitas internal yang solid—dan akreditasi menjadi bukti nyatanya. Tetapi prosesnya tidak berhenti di situ. Branding menuntut konsistensi dalam komunikasi, pelayanan yang humanis, keterlibatan sosial, dan kehadiran yang otentik di ruang digital.
Branding institusi pendidikan bukanlah kampanye singkat, melainkan investasi jangka panjang dalam membangun hubungan emosional dan rasional antara kampus dan publiknya.
Baca juga: Bukan Hanya Brosur: Cara Membangun Narasi Otentik Kampus Anda di Era Digital
Tidak Bertentangan, Tapi Harus Dijembatani
Pernyataan “akreditasi itu penting, tapi tidak cukup untuk branding” akan terasa menyederhanakan jika tidak diberi konteks yang memadai. Yang benar adalah: akreditasi dan branding adalah dua sisi dari satu koin kepemimpinan institusi.
- Akreditasi adalah bentuk tanggung jawab—ia menjamin bahwa kampus bekerja sesuai standar mutu nasional.
- Branding adalah cara kampus berbicara kepada dunia—ia menunjukkan karakter, diferensiasi, dan relevansi sosial.
Ketika keduanya berjalan selaras, hasilnya adalah reputasi institusi yang kokoh—baik secara internal maupun eksternal. Kampus dengan akreditasi unggul seharusnya dapat mengartikulasikan keunggulannya lewat cerita yang autentik dan menyentuh publik. Sebaliknya, kampus dengan strategi branding kampus yang kuat perlu memastikan bahwa narasi yang dibangun tidak menjadi “hiasan kosmetik” semata, melainkan cerminan mutu nyata di dalamnya.
Konsep ini disebut oleh Simon Anholt (2010) sebagai competitive identity—bagaimana kualitas dan narasi institusi berjalan dalam satu orkestrasi strategis untuk membangun posisi yang kuat di benak publik.
Strategi Sinergis: Membangun Kualitas yang Komunikatif
Bagi pimpinan kampus, pertanyaannya kini bukan lagi “apakah branding penting?”, tetapi “bagaimana mensinergikan akreditasi dan branding secara strategis?”. Beberapa pendekatan yang bisa dipertimbangkan antara lain:
- Integrasikan hasil akreditasi ke dalam narasi kampus – Gunakan capaian mutu sebagai bukti yang memperkuat pesan-pesan komunikasi eksternal.
- Libatkan pemangku kepentingan dalam storytelling – Biarkan dosen, mahasiswa, dan alumni menjadi duta narasi kampus yang hidup.
- Bangun editorial plan yang strategis – Rencanakan konten yang konsisten dan bernilai edukatif di media sosial dan situs web resmi.
Perkuat pengalaman pengguna digital – Situs kampus bukan hanya etalase informasi, tapi juga bagian dari pengalaman branding.
Branding tidak bisa didelegasikan semata ke tim media sosial atau Humas. Ia harus menjadi bagian dari kesadaran strategis pimpinan kampus, karena menyangkut bagaimana lembaga tersebut akan dilihat, dikenang, dan dipilih.
Baca juga: 3 Peran Strategis PT Pusat dalam Mendorong Hilirisasi dan Bisnis Kampus
Penutup: Jangan Pilih Salah Satu, Bangun Keduanya
Kita hidup di era ketika persepsi bisa dibentuk dalam hitungan detik, tetapi hanya kualitas yang membuatnya bertahan dalam ingatan. Karena itu, kampus tidak bisa hanya menjadi institusi yang kredibel di atas kertas. Ia harus menjadi lembaga yang komunikatif—yang mampu menyampaikan keunggulannya secara jujur, relevan, dan bermakna.
Akreditasi adalah license to operate. Branding adalah license to lead.
Jangan abaikan salah satunya. Jangan pertentangkan keduanya. Bangun jembatan di antara keduanya.
Referensi:
- Neumeier, M. (2005). The Brand Gap. New Riders.
- Anholt, S. (2010). Places: Identity, Image and Reputation. Palgrave Macmillan.
- Altbach, P. G., Reisberg, L., & Rumbley, L. E. (2009). Trends in Global Higher Education: Tracking an Academic Revolution. UNESCO.
- BAN-PT. (2024). Instrumen Akreditasi Program Studi 4.0.
- Kemendikbudristek. (2023). Panduan Pengembangan Budaya Mutu Perguruan Tinggi.
0 Comments