Di era digital yang semakin kompetitif, banyak perguruan tinggi masih terjebak dalam pola promosi konvensional: posting di media sosial, memasang iklan online, atau sekadar mengandalkan brosur. Namun, seberapa banyak kampus yang benar-benar memahami apa yang dialami calon mahasiswa sejak pertama kali mengenal kampus hingga akhirnya mendaftar?
Jawaban atas pertanyaan ini terletak pada dua hal penting: mapping touchpoint (titik sentuh) dan identifikasi pain point (titik sakit) calon mahasiswa. Strategi ini bukan hanya soal pemasaran, tetapi tentang membangun pengalaman (user experience) yang efektif dan menyenangkan sepanjang perjalanan mereka.
Apa Itu Touchpoint dalam User Journey Kampus?
Touchpoint adalah setiap titik interaksi calon mahasiswa dengan kampus, baik online maupun offline. Setiap interaksi ini memengaruhi persepsi mereka terhadap kampus Anda.
Beberapa contoh touchpoint di setiap tahap perjalanan calon mahasiswa:
-
Awareness Stage
Iklan Instagram, berita di media online, brosur yang disebarkan ke sekolah-sekolah. -
Consideration Stage
Mengunjungi website resmi kampus, mengirim DM ke akun Instagram resmi, menonton testimoni mahasiswa di TikTok. -
Decision Stage
Bertanya langsung melalui WhatsApp admin, mengikuti webinar sosialisasi, berkonsultasi dengan dosen atau alumni. -
Enrollment Stage
Mengisi formulir pendaftaran online, datang ke kampus untuk verifikasi, melakukan pembayaran biaya kuliah.
Semakin detail kampus mengenali touchpoint ini, semakin mudah memahami perilaku, kebutuhan, dan ekspektasi calon mahasiswa.
Apa Itu Pain Point dan Mengapa Penting?
Pain point adalah hambatan, masalah, atau rasa frustrasi yang dialami calon mahasiswa di setiap touchpoint. Banyak kampus tidak menyadari bahwa hambatan kecil dapat membuat calon mahasiswa mundur dan beralih ke kampus lain.
Contoh pain point umum di dunia pendidikan tinggi:
- Website lambat diakses melalui ponsel atau ada fitur yang tidak berfungsi.
- Informasi biaya kuliah tersebar di banyak halaman dan sulit ditemukan.
- Admin lambat merespons chat WhatsApp atau DM media sosial.
- Proses pendaftaran rumit (terlalu banyak form, banyak dokumen yang harus diunggah).
- Tidak ada konten yang menjawab pertanyaan mendasar, seperti:
“Kalau saya ambil jurusan ini, prospek kerjanya bagaimana?”
Jika pain point ini tidak diatasi, kampus akan kehilangan calon mahasiswa yang sudah hampir mengambil keputusan.
Cara Memetakan Touchpoint dan Pain Point Calon Mahasiswa
Bagaimana cara menemukan titik sentuh dan titik sakit tersebut? Berikut adalah langkah-langkah praktis yang bisa dilakukan:
-
Brainstorming Internal
Libatkan tim pemasaran, akademik, hingga bagian keuangan. Diskusikan semua titik interaksi calon mahasiswa dengan kampus. -
Survey & Wawancara
Tanyakan langsung kepada calon mahasiswa atau mahasiswa baru:
“Apa yang membuat kamu bingung saat mendaftar?”
“Di tahap mana kamu merasa kesulitan?” -
Mapping Visual
Buat journey map sederhana dengan alur: Awareness → Consideration → Decision → Enrollment. Catat setiap touchpoint dan potensi pain point-nya. -
Prioritasi Masalah
Tidak semua pain point bisa diselesaikan sekaligus. Fokus pada masalah yang paling kritis, misalnya:
- “Website terlalu lambat diakses”
- “Balasan chat terlalu lama”
Pendekatan ini akan membantu kampus mengalokasikan sumber daya secara efektif.
Baca juga: Memahami User Journey dalam Penerimaan Mahasiswa Baru: Kunci Strategi Digital Kampus
Mengapa Mapping Touchpoint & Pain Point Penting untuk Kampus?
Dengan memetakan touchpoint dan pain point, kampus dapat menghentikan strategi berbasis insting dan mulai mengambil keputusan berbasis data.
Beberapa insight yang bisa ditemukan:
- “Calon mahasiswa lebih banyak bingung soal biaya kuliah dibanding jurusan.”
- “WhatsApp adalah channel utama komunikasi, bukan email.”
- “Brosur cetak masih efektif di sekolah-sekolah tertentu.”
Data ini memungkinkan kampus:
✅ Menyusun strategi promosi yang lebih tepat sasaran.
✅ Menghemat biaya pemasaran.
✅ Meningkatkan conversion rate pendaftaran.
Dari Pain Point Menjadi Gain Point
Kabar baiknya, setiap pain point bisa diubah menjadi gain point (nilai tambah). Misalnya:
- Jika website lambat, jadikan website mobile-friendly dan tambahkan fitur chat langsung.
- Jika informasi biaya membingungkan, buat halaman khusus biaya kuliah yang jelas dan transparan.
- Jika balasan admin lambat, gunakan chatbot atau tim respons cepat.
Dengan langkah ini, pengalaman calon mahasiswa berubah dari frustrasi menjadi kepuasan. Hasilnya? Kepercayaan terhadap kampus meningkat sejak interaksi pertama.
Kesimpulan
User Journey Mapping bukan sekadar gambar di papan atau slide presentasi. Ini adalah alat strategis untuk memahami calon mahasiswa dan memastikan setiap interaksi membawa mereka lebih dekat ke keputusan mendaftar.
Dengan mengatasi pain point dan memperkuat touchpoint, kampus tidak hanya membuat proses pendaftaran lebih mudah, tetapi juga membangun kepercayaan, loyalitas, dan citra positif di mata calon mahasiswa.
Sudah saatnya kampus berhenti menebak-nebak strategi marketing dan mulai mengambil keputusan berdasarkan data pengalaman pengguna. Itulah cara memenangkan hati generasi calon mahasiswa saat ini.
Referensi
- Deloitte. (2023). The Student Experience in Higher Education: A Data-Driven Approach.
- Kotler, P., & Keller, K. (2022). Marketing Management (16th ed.). Pearson.
- Think with Google. (2022). Micro-Moments in Education Marketing.
- Hanover Research. (2023). Higher Education Enrollment Strategies.
- Nielsen Norman Group. (2023). Journey Mapping 101.
0 Comments